Balada Seorang Guru Honorer

Hidup memang pilihan. Tetapi kehidupan di negeri ini orang harus menerima kenyataan tanpa ada pilihan. Kecuali harus menerima yang harus diterima atau mati. Begitu barang kali terjadi pada Sutrisno. Sedari kecil bercita cita menjadi Pejabat tinggi dan akhirnya terdampar sebagai guru honorer. Tahulah kalian bagaimana kehidupan seorang guru honorer. Soal penghasilan tidak lebih baik dari upah minimum regular buruh pabrik. Tapi apa hendak dikata? Beginilah nasib profesi guru yang memang bukan profesi terhormat sebagaimana profesi lainnya, Sutrisno membatin.

Awalnya ada perasaan tidak adil bagi dirinya. Ketika dia harus menerima kenyataan sebagai guru. Ketika semua pintu instansi menutup diri untuk menerimanya berkarir setelah menamat pendidikan diperguruan tinggi. Namun, setelah menjalani professi ini diapun bermetamorfosa menjadi lebah. Ya Lebah. Yang selalu bergiat berkerja dengan motivasi tinggi tanpa ada yang memerintah. Tanpa ada yang memberikan iming-iming bonus. Diapun tidak tahu bila awalnya dia menjadi lebah. Tapi yang pasti adalah semakin dia resapi peran yang dia mainkan sebagai tenaga pendidik semakin dia menemukan kepuasaan. Puas karena dia mampu memberi dan membuka cakrawala anak manusia untuk menjadi “manusia seutuhnya”. Batinnya menjadi kaya bila tahun berganti tahun semakin banyak muridnya yang berhasil lulus dengan senyum bahagia untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Batin yang kaya adalah bentuk lain dari nikmatnya sorga di dunia. Nikmat itu datang karena anugerah Allah yang terpatri dalam sanubari manusia. Itulah yang membuatnya terus bersyukur dalam serba keterbasan ekonomi. Dia tidak lagi mempermasalahkan ketidak adilan. Juga tidak pernah lagi mempertanyakan bilakah dia akan ditingkatkan statusnya sebagai pegawai tetap. Dia hanya ingin menjalani kehidupan dan profesinya dengan ikhlas dan berharap agar ridho Tuhan selalu menyertainya.

Seperti halnya ketika tadi malam , dia hampir tidak bisa tidur karena putra satu satunya sakit. Suhu badannya panas. Dia dan istri , tak henti hentinya mengompres kepala anaknya agar panasnya turun. Dalam keperihan menatap buah hatinya , diapun dihadapkan oleh jalan yang buntu untuk membawa anaknya kerumah sakit. Asuransi kesehatan memang tidak ada untuk guru honorer. Sementara istrinya tak banyak membantu sebagai ibu rumah tangga. Semalaman mereka berjuang menjaga suhu tubuh anaknya stabil Karena Allah , keadaan terlewati dengan baik walau belum menyembuhkan anaknya dari sakit.

Pagi pagi, dia sudah melangkah keluar rumah dengan meninggalkan kegalauan istrinya menghadapi buah hatinya belum juga pulih dari demamnya. “ Semoga aja bu, Anak kita dapat sembuh setelah makan obat warung itu. Kalau belum juga, aku akan berusaha mendaptkan pinjaman dari sekolah. Kita akan bawa anak kita ke rumah sakit. “ Katanya kepada istrinya. .

Siang itu, seusai memberikan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Sutrisno memberikan kesempatan kepada muridnya untuk mengajukan pertanyaan. Ini memang metode pendidikan sekarang yang memberikan kesempatan kepada murid untuk bertanya dan menyampaikan pikirannya secara bebas.

“ Baiklah. Anak anak. Kamu sekarang dapat mengajukan pertanyaan. Tapi cukup tiga pertanyaan saja “ Dia mulai membuka dialog kepada muridnya.
“ Pak, Tanya “ Seorang murid yang duduk dibelakang berteriak dan tersenyum.
“ Ya , Silahkan.”
“ Kita diajarkan tentang kewajiban Negara terhadap rakyat dan kewajiban rakyat terhadap Negara. Mengapa bila rakyat tidak memenuhi kewajibannya dihukum sementara bila Negara tidak memenuhi kewajibannya tidak ada sangsi apapun.” Tanya murid itu sambil berdiri. “ Ini kenyataan yang saya lihat, pak “ Sambungnya lagi sebelum sempat Sutrisno sempat menjawabnya.
“ Baik. Ada lagi “ Tanya Sutrisno memandang keseluruh ruangan.
“ Saya , Pak. “ Seru murid lain yang duduk ditengah.
“ ya. Silahkan. “
“ Mengapa sampai sekarang begitu banyak berita rakyat kecil masuk penjara karena kesalahan kecil. Sementara banyak penjahat kakap seperti Koruptor jarang sekali diberitakan. Kalaupun ada orangnya hanya sedikit sekali.” Yang bertanya ini murid wanita. Terbilang cerdas dikelas. Tapi dari keluarga miskin.
“ Baik. Ada lagi “
“ Tanya Pak. “ Teriak murid yang duduk dibelakang.
“ ya Silahkan”
“ Maaf loh Pak..” anak itu sedikit menahan tawa. Semua temannya memandangnya. ” Ini agak pribadi. Tapi bolehkan saya bertanya ” lanjut murid itu. ” Ya silahkan. Boleh. ” jawab Sutrisno.
” Mengapa Bapak sampai sekarang masih naik bus. Tak punya kendaraan sendiri. “ Pertanyaan ini membuat riuh seluruh kelas. Mereka akhirnya tertawa. Inilah hasil dari metode pendidikan yang menanamkan demokrasi dan akhirnya kebablasan. Guru menjadi bahan tertawaan. Tidak ada lagi rasa santun kepada guru sebagaimana budaya tradisional bangsa ini.
“ Apakah ada diantara kalian yang dapat menjawab pertanyaan itu” Kembali Sutrisno mengajukan pertanyaan kepada muridnya. Sambil matanya memandang keseluruh ruangan.

Belum sempat di antara murid itu menjawab, bel istirahat sudah berdentang. Tanpa dikomando merekapun berhamburan keluar. Inilah peraturan sekolah yang paling ditepati disiplinnya.

Di ruang guru, Sutrisno terdiam. Matanya memandang kertas yang ada di meja tapi pikirannya kusut. Tadi malam dia dan istrinya tidak bisa tidur karena anaknya sakit.. DIsamping kekalutan mental dan kelelahan fisik, keuangannya sudah minus. Membayangkan biaya dokter dan menebus resep diapotik sudah menghabiskan sebulan honornya. Dia berharap anaknya dapat membaik setelah makan obat warung. Itulah harapannya ketika tadi berangkat kerja.

“ Tisno , Ada telephone dari istrimu “ Kepala sekolah berteriak dari ruangnya. Tisno langsung berdiri dan berjalan setengah berlari keruang kerja kepala sekolah.
“ ya, Bu “
“ Andi tambah panas badannya. Kita harus bawa dia kerumah sakit. Aku kawatir demam berdarah” Suara istrinya terdengar agak menahan tangis. Sutrisno Panik.
“ Ibu, Tenang. Bapak segera pulang. Andi kita bawa kerumah sakit.”

Telpon ditutupnya. Matanya tertuju kearah kepala sekolah yang nampak sibuk dengan tumpukan mapnya.

“ Pak ..” Sutrisno bediri dihadapan meja Kepala sekolah dengan ragu.
“ Ya. Ada apa “ Kepala sekolah itu terus dengan pekerjaannya.
“ Saya perlu kasbon. Anak saya perlu ke rumah sakit. “ Katanya dengan lemah.
“ Tidak ada. Kamu kan tau. Cicilah hutang kamu yang ada saja sebulan melebihi honor kamu. Pikir itu.” Kepala sekolah mendongak kearahnya dengan tatapan sinis.
‘ Saya tahu Pak.,”
“ Nah kamu tahu itu “
“ Tapi anak saya sakit…”
“ Pak Sutrisno “ kepala sekolahnya berdiri menghampirinya sambil memegang pundaknya. “ Kita semua senasip dengan kamu. Mengertilah kalau kita tidak dapat membantu kamu” Lanjut kepada sekolahnya.
“ Tapi, Pak …”
“ Ya sudah. Saya ada uang Program Bantuan Kegiatan Sekolah. Uang ini dapat kamu pakai dulu. Tapi tolong kamu tanda tangani Surat surat ini. “ Sutrisno melihat surat yang harus ditanda tanganinya. Termasuk lampirannya.
“ Tapi, Pak…”
“ Apa ! kalau kamu tidak mau kerjasama dengan kita. Ya terserah !. Yang pasti gaji kita semua tidak bisa memenuhi kebutuhan kita. Hanya inilah cara satu satunya untuk membuat kita bertahan.”

Sutrisno termenung. Sebetulnya dana ini diperuntukan untuk mendukung kelancaran proses belajar bagi murid murid. Tidak untuk kesejahteraan guru. Karena soal kesejateraan sudah diatur dalam daftar honor. Walau jumlahnya tidak mencerminkan kesejahteraan. Dia membayangkan dosa dan rusaknya akidah , juga membayangkan anaknya yang sedang sakit dan butuh biaya berobat. Tapi dia memilih untuk pulang tanpa harus menerima uang itu.

“ Pak , Boleh saya pinjam motornya. Saya harus cepat sampai di rumah. “ Kembali Sutrisno berharap.
“ Ya. Silahkan. Tapi ingat STNK ini harus aman, Tolong jaga amanah ini..” Kepala sekolah itu bersungut tanda tak ikhlas namun kemudian menyerahkan STNK dan Kunci Motor kepadanya.

Sutrisno tidak langsung pulang kerumah. Tapi dipacunya kendaraannya ke rumah sanak keluarganya. Untuk mendapatkan pinjaman uang berobat. Untunglah salah satu keluarga dekatnya masih bersedia untuk memberikan sedikit uang. Tapi itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Sesampai dirumah , istri dan anaknya sudah tidak ada. Dari tetangga diketahuinya istrinya sudah pergi sejam yang lalu kerumah sakit. Dipacunya lagi motor itu menuju Rumah Sakit. Di jalan, Polisi menghentikan motornya. Sutrisno tersentak ketika mengetahui dia telah melanggar lalu lintas dengan menerobos lampu merah.
“ Anda tahu kan kesalahan anda.” Tanya polisi itu.
“ Maaf , Pak. Saya harus buru buru kerumah sakit karena anak saya …” .
“ STNK dan SIM “ pinta polisi itu tanpa menghiraukan alasan Sutrisno.
“ Pak, Maafkan saya…” katanya dengan berat memberikan STNK dan SIM itu kepada Polisi.
“ Anda saya tilang. STNK dan SIM dapat diambil di Kantor. “ Polisi itu menyerahkan Surat Tilang dan berlalu.

Sesampai dirumah sakit. Istrinya sudah menunggu didepan kasir. Sementara anaknya nampak pucat. Karena sudah berkali kali muntah. Tapi belum juga mendapat pertolongan dari petugas medis.
“ Pak, Andi harus diopname dan diimpus. Petugas sini minta jaminan uang sebesar satu juta rupiah.” Wajah istri nampak bingung sambil memeluk anaknya.
Sutrisno hanya terdiam. Akhirnya dipacunya kendaraannya kembali kesekolah untuk terpaksa menerima uang yang ditawarkan oleh kepala sekolah.. Tapi , ditengah jalan dia urungkan niatnya. Karena STNK masih ditangan polisi. Dia arahkan kembali motornya ke rumah sakit. Tapi belum begitu jauh, dia kembali menghentikan motornya. . Dia terus berputar antara rumah sakit dan sekolah tapi anehnya Sutrisno tidak pernah sampai ke sekolah dan juga ke rumah sakit…

  1. No trackbacks yet.

Leave a comment